Jumat, 17 Februari 2012

Raja Gowa VIII

I Pakere' Tau

Hasil perkawinan Raja Gowa VII Batara Gowa dengan putri dari Sombayya ri Garassaik atau yang lebih tersohor dengan julukan Yang  Dipertuan di Garassik, membuahkan tiga orang anak yakni yang sulung bernama I Pakere’ Tau, adiknya bernama Karaeng Garassik dan seorang lagi perempuan bernama Karaenga ri Bone.

Sebagaimana biasanya, Raja mewariskan tahtanya pada Putra Sulungnya. Apalagi I Pakere’ Tau terkenal sebagai seorang pemberani. Nama I Pakere’ Tau yang berarti “Penjagal manusia”. Kondisi demikian, Batara Gowa mewariskan tahtanya pada I Pakere’ Tau.
Disamping itu, Raja Batara Gowa juga kawin dengan I Rerasi putri Bangsawan dari Tallo. Hasil perkawinannya inilah membuahkan seorang anak bernama Daeng Matanre yang kelak menjadi Raja Gowa kesembilan.
Setelah Raja Batara Gowa wafat, beliau kemudian digantikan oleh putranya I Pakere’ Tau yang menjadi Raja Gowa ke-VIII. I Pakere’ Tau memegang tahta di Kerajaan Gowa pada tahun 1460 – 1510. Raja Gowa I Pakere’ Tau yang terkenal keberaniannya, kebal dengan senjata tajam.
Diperkirakan ia memerintah secara lalim dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Merasa dilalimi, rakyatpun melakukan pemberontakan. Namun sebelum pemberontakan, rakyat memasang strategi, bahwa Raja I Pakere’ Tau tak mungkin bisa dibunuh dengan senjata tajam, rahasinya adalah, ia dapat ditaklukkan dengan sebilah galah yang oleh orang Makassar disebut Passukki. Pemberontakan rakyat Gowa terhadap rajanya dengan menggunakan passukki membuat Raja I Pakere’ Tau menemui ajalnya. Itulah sebabnya beliau mendapat gelar anumerta “Tunijallo ri Passukki” yang artinya baginda mati karena diamuk oleh passukki oleh budaknya.

Raja Gowa VII

Batara Gowa

Setelah Raja Tunatangkalopi wafat, beliau kemudian digantikan oleh anaknya Batara Gowa yang menjadi Raja Gowa. Walau anaknya sudah membagi kekuasaan untuk kedua putranya yakni Gowa dan Tallo, tetapi perselisihan dari kedua putranya itu tak terelakkan lagi.
Dari perselisihan kedua bersaudara ini, Karaengloe ri Sero mengalah dan ia pergi merantau ke tanah jawa. Karena Gallarrang yang masuk Wilayah Tallo terjadi kevakuman Pemerintahan, maka Gallarrang ikut pada Batara Gowa. Dalam kondisi demikian, Batar Gowa mendaulat kekuasaan Karaeng Loe ri Sero atas Gallarrangnya.

Setelah mengembara ke Tanah Jawa, akhirnya Karaeng Loe ri Sero kembalinya ke Negerinya di Tallo. Ia kemudian tinggal di sebuah pemukiman dekat sungai. Tempat itu kemudian diberi nama Passiknang (bersedih). Nama ini kemudian berubah menjadi Paccinang. Penamaan demikian karena Karaeng Loe ri Sero bersedih hati karena perbuatan Batara Gowa atas dirinya, sehingga beliau ke tanah Jawa.
Karaeng Loe ri Sero masih dalam keadaan bersedih, kedua sahabatnya yang menjadi Raja di Batuwa dan Bira yakni Karaeng Loe ri Bentang dan Karaeng Loe ri Bira mendatanginya.. kedua Karaeng Loe ini minta pada Karaeng Loe ri Sero agar sudi meninggalkan Paccinang dan tinggal di Kampung Batuwa yang masih dalam wilayah kekuasaan Karaeng Loe ri Bira.
Agar Karaeng Loe ini mau mengikuti ajakan kedua rekannya itu, kedua Karaeng Loe ini bersepakat untuk mengakui dan memperlakukan Karaeng Loe ri Sero sebagai Raja yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka.
Karaeng Loe ri Sero merasa mendapat kehormatan, dan disitulah semangatnya mulai bangkit untuk melaksanakan Pemerintahan. Tempat Pemerintahannya itu kemudian diberi nama Tallo. Saat itulah Kerajaan Tallo mulai berdiri dan Karaeng Karaeng Loe ri Sero menjadi Raja pertama.
Karaeng Loe ri Sero merasa dihargai dan sudah memiliki kekuasaan di Wilayah Kerajaan Tallo, maka lambat laun permusuhannya dengan Raja Batara Gowa berangsur-angsur mereda dan akhirnya bersahabat. Dalam kondisi demikian rakyat dikedua Kerajaan itu berikrar :
“ Iya-iyannamo Tau Ampasisallaki Gowa na Tallo, Iamo Tau Nicalla ri Rewataya”.
(barang siapa yang berupaya memisahkan Kerajaan Gowa dan Tallo, ia akan dikutuk oleh Dewata).
Sejak saat itulah, Gowa – Tallo menjadi sebuah Kerajaan kembar. Pemerintah dan rakyat saat itu dikenal istilah Rua Karaeng Se’re Ata (dua Raja tapi satu rakyat).

Rabu, 15 Februari 2012

Raja Gowa VI

Tunatangkalopi


Raja Gowa ke-6 bernama Tunatangkalopiyang berkuasa     pada tahun 1445 – 1450. Beliau adalah Putra Raja Gowa ke-V (Karampang ri Gowa.  Raja ini dikenal sebagai penggagas berdirinya kerajaan kembar Gowa – Tallo.
Gowa dibawa kekuasaan Tunatangkalopi terus memperluas wilayah kekuasaannya, hingga menaklukkan beberapa daerah di sekitarnya yang masuk dalam wilayah Bate Salapanga. seperti ; Pannampuk, Moncongloe, Parangloe, Paccellekang, Pattalassang dan sunggumanai.
raja Tunatangkalopi memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Batara Gowa, dan adiknya bernama Karaengloe ri Sero. Raja khawatir kalau kelak kedua putranya berselisih karena kekuasaan, karena masing-masing ingin menjadi Raja. Mencegah terjadinya perselisihan dimaksud, maka Tunatangkalopi kemudian membagi dua wilayah kekuasaan, yakni wilayah kekuasaan kerajaan Gowa dan wilayah kekuasaan kerajaan Tallo.
wilayah kekuasaan kerajaan Gowa akan diperuntukkan pada anak sulungnya “Batara Gowa”, wilayah dimaksud meliputi;
  1. Gallarrang Paccellekang
  2. Gallarang Pattalassang
  3. Gallarang Bontomanai Timur
  4. Gallarang Bontomanai Barat
  5. Gallarang Tombolo, dan
  6. Gallarang Mangasa.
wilayah kekuatan Tallo yang akan diperuntukkan pada Karaeng Loe ri Sero meliputi;
  1. Gallarang Saumata;
  2. Gallarang Pannampuk;
  3. Gallarang Moncongloe;
  4. Gallarang Parang.**
Raja Tunatangkalopi ini memiliki sifat petualang. Beliau suka berlayar mengarungi lautan nan luas menyinggahi beberapa Negara atau Kerajaan tetangga, seperti Madagaskar dan pulau Aboringin dan beberapa benua lainnya.
Nama Tunatangkalopi sebenarnya bukanlah nama aslinya. Tunatangkalopi adalah nama anumerta yang berarti mati karena ditelungkupi perahu (ditelungkupi= Tunatangkalopi).
Dipisahkannya Kerajaan Gowa – Tallo bukan berarti kedua Kerajaan ini masing-masing berdiri sendiri. Kerajaan Gowa Tallo adalah Kerajaan kembar dan wilayahnya tak bisa dipisahkan satu sama lain. Begitu eratnya rakyat dan pemerintahdikedua kerajaan ini, sehingga penulis berkebangsaan Belanda menamakan Kerajaan Gowa – Tallo dalam istilah Zuzterstaten (Dua Kerajaaj Bersaudara)

http://dgparani.wordpress.com

Raja Gowa V

 Karampang ri Gowa

Karampang ri Gowa adalah putra Raja Gowa keempat I Tuniata Banri. Beliau memerintah di Gowa dari tahun 1420 hingga 1445. Juga tidak banyak diketahui siapa ibunya dan bagaimana sistem pemerintahannya.
Namun bisa diketahui bahwa baginda-baginda ini melanjutkan sistem pemerintahan di Gowa yang telah dirintis oleh Tumanurunga selaku Raja Gowa pertama. Beliau menempati Istana Tamalate sebagai pusat pemerintahan sekaligus sebagai Istananya.
Mulai dari raja pertama hingga Raja Gowa kelima Karampang ri Gowa, tidak ada kuburannya, melainkan mereka raib ke negeri kayangan.**

Raja Gowa IV

I Tuniata Banri

Raja Gowa keempat ini adalah Putra dari Raja Gowa ke-3 yakni, I Puang Loe Lembang. Beliau memerintah dari tahun 1395 sampai tahun 1420.
Tidak banyak diketahui tentang bagaimana sistem pemerintahannya dan siapa Ibundanya. **

Raja Gowa III

(I Puang Loe Lembang)

Mengenai kisah Raja Gowa I Puang Loe Lembang ini tidak banyak diketahui. Namun Baginda adalah Putra dari Tumasalangga Baraya. Setelah Ayahandanya raib ke Negeri Kayangan, beliaulah yang menggantikannya sebagai Raja Gowa ketiga dan memerintah dari tahun 137 hingga 1395.
Cara Pemerintahannya tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Raja Tumanurunga dan Tumasalangga Baraya.**

Raja Gowa II

(Tumassalangga Baraya)
 http://dgparani.wordpress.com

Hasil perkawinan antara Putri Ratu Tumanurung dengan Karaeng Bayo telah membuahkan seorang putra bernama Tumasalangga Baraya (ng).

Raja Gowa I

Dalam legenda orang-orang Gowa, diceritakan bahwa Raja yang pertama memerintah di Kerajaan Gowa bernama Tumanurung Bainea (Putri yang turun dari Kayanga) . Beliau sengaja diutus ke Butta Gowa untuk menjadi pemimpin, dimana saat itu, Gowa dilanda perang saudara. Tumanurung pertama kali memerintah di Gowa pada tahun 1320 hingga 1345.
Tumanurung adalah bukanlah nama aslinya. Namanya tidak diketahui sehingga masyarakat pada saat itu memberinya nama Tumanurung.

Tak ada satu catatan sejarahpun masa itu yang bisa mengungkapkan kedatangan Tumanurung di Butta Gowa. Hanya saja, pemikiran masyarakat Gowa saat itu yang menganut animisme ditambah dengan pengaruh Hindu sebagai akibat dari pengaruh Kerajaan Majapahit (Abd IV – XV), dimana agama hindu juga ada pengaruhnya di wilayah timur nusantara ini.

Dalam konsep animisme ataupun Hindu, mempercayai adanya Dewa yang turun dari kayangan juga ada Dewa dari air. Berdasarkan konsep pemikiran itulah, muncul nama Tumanurung yang berarti Ratu Putri yang turun dari Negeri Kayangan, sedang Raja yang datang dari air disebut Karaeng Bayo (Bayo= air) yang menjadi suami Ratu Tumanurung.

Konsep Tumanurung sebagai Raja Gowa pertama ini juga dianut oleh beberapa daerah bekas kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti di Luwu, Bone, Toraja, Enrekang, Mandar dan beberap daerah lainnya.
Sebelum datangnya Tumanurung di Butta Gowa yakni pada masa Gowa Purba, dapat diketahui bahwa ada empat Raja yang pernah mengendalikan Gowa yakni;
  1. 1. Batara Guru
  2. 2. Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh tatali (tak diketahui nama aslinya)
  3. 3. Ratu Supu atau Marancai
  4. 4. Karaeng Katangka yang nama aslinya juga tidak diketahui
Saat itu Gowa masih terdiri dari 9 perkampungan kecil yang disebut Kasuwiang. Kesembilan Kasuwiang itu dimaksud adalah : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Kalling dan Sero. Pada masa itu, rakyat di 9 kasuwiang dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan seberang sungai je’neberang. Paccallaya sebagai ketua Federasi ke 9 negeri itu tak mampu mengatasi perang saudara tersebut. karena fungsi Paccallaya hanya sebagai lambang dan tak punya pengaruh kuat pada anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk meredakan peperangan, diperlukan seorang figur yang bisa diterima oleh semua pemimpin kaum dan rakyatnya.

Suatu saat, terdengar berita oleh Paccallaya, bahwa ada seorang putri Ratu yang turun di atas Bukit Tamalate, tepatnya di Taka’bassia. Paccallaya dan ke 9 Kasuwiang bergegas menuju Bukit itu, saat penantian, orang-orang yang berdiam di kampung Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari atas langit. Cahaya itu kemudian perlahan-lahan turun ke bawah hingga sampai di Taka’bassia.
Paccallayadan ke 9 kasuwiang itu duduk mengelilingi taka’bassia  sambil bertafakkur. Ketika cahaya itu turun di Taka’bassia kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik yang memakai mahkota emas bertahtakan berlian, kalung emas, rantai emas, serta gelang emas. Putri Ratu itu kemudian diberi nama Tumanurung Bainea..

Paccallaya dan kasuwiang salanga, kemudian sepakat mengangkat putri ratu sebagai rajanya. Kasuwiang Salapanga dan Paccallaya kemudian mendekati Putri Ratu seraya bersembah; “Sombangku”! (Tuanku..) kami datang semua ke hadapan Sombangku, kiranya Sombangku sudi menetap di negeri kami dan Sombangku yang merajai kami.
Bersambung……..!!!

http://dgparani.wordpress.com