Rabu, 15 Februari 2012

Raja Gowa I

Dalam legenda orang-orang Gowa, diceritakan bahwa Raja yang pertama memerintah di Kerajaan Gowa bernama Tumanurung Bainea (Putri yang turun dari Kayanga) . Beliau sengaja diutus ke Butta Gowa untuk menjadi pemimpin, dimana saat itu, Gowa dilanda perang saudara. Tumanurung pertama kali memerintah di Gowa pada tahun 1320 hingga 1345.
Tumanurung adalah bukanlah nama aslinya. Namanya tidak diketahui sehingga masyarakat pada saat itu memberinya nama Tumanurung.

Tak ada satu catatan sejarahpun masa itu yang bisa mengungkapkan kedatangan Tumanurung di Butta Gowa. Hanya saja, pemikiran masyarakat Gowa saat itu yang menganut animisme ditambah dengan pengaruh Hindu sebagai akibat dari pengaruh Kerajaan Majapahit (Abd IV – XV), dimana agama hindu juga ada pengaruhnya di wilayah timur nusantara ini.

Dalam konsep animisme ataupun Hindu, mempercayai adanya Dewa yang turun dari kayangan juga ada Dewa dari air. Berdasarkan konsep pemikiran itulah, muncul nama Tumanurung yang berarti Ratu Putri yang turun dari Negeri Kayangan, sedang Raja yang datang dari air disebut Karaeng Bayo (Bayo= air) yang menjadi suami Ratu Tumanurung.

Konsep Tumanurung sebagai Raja Gowa pertama ini juga dianut oleh beberapa daerah bekas kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti di Luwu, Bone, Toraja, Enrekang, Mandar dan beberap daerah lainnya.
Sebelum datangnya Tumanurung di Butta Gowa yakni pada masa Gowa Purba, dapat diketahui bahwa ada empat Raja yang pernah mengendalikan Gowa yakni;
  1. 1. Batara Guru
  2. 2. Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh tatali (tak diketahui nama aslinya)
  3. 3. Ratu Supu atau Marancai
  4. 4. Karaeng Katangka yang nama aslinya juga tidak diketahui
Saat itu Gowa masih terdiri dari 9 perkampungan kecil yang disebut Kasuwiang. Kesembilan Kasuwiang itu dimaksud adalah : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Kalling dan Sero. Pada masa itu, rakyat di 9 kasuwiang dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan seberang sungai je’neberang. Paccallaya sebagai ketua Federasi ke 9 negeri itu tak mampu mengatasi perang saudara tersebut. karena fungsi Paccallaya hanya sebagai lambang dan tak punya pengaruh kuat pada anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk meredakan peperangan, diperlukan seorang figur yang bisa diterima oleh semua pemimpin kaum dan rakyatnya.

Suatu saat, terdengar berita oleh Paccallaya, bahwa ada seorang putri Ratu yang turun di atas Bukit Tamalate, tepatnya di Taka’bassia. Paccallaya dan ke 9 Kasuwiang bergegas menuju Bukit itu, saat penantian, orang-orang yang berdiam di kampung Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari atas langit. Cahaya itu kemudian perlahan-lahan turun ke bawah hingga sampai di Taka’bassia.
Paccallayadan ke 9 kasuwiang itu duduk mengelilingi taka’bassia  sambil bertafakkur. Ketika cahaya itu turun di Taka’bassia kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik yang memakai mahkota emas bertahtakan berlian, kalung emas, rantai emas, serta gelang emas. Putri Ratu itu kemudian diberi nama Tumanurung Bainea..

Paccallaya dan kasuwiang salanga, kemudian sepakat mengangkat putri ratu sebagai rajanya. Kasuwiang Salapanga dan Paccallaya kemudian mendekati Putri Ratu seraya bersembah; “Sombangku”! (Tuanku..) kami datang semua ke hadapan Sombangku, kiranya Sombangku sudi menetap di negeri kami dan Sombangku yang merajai kami.
Bersambung……..!!!

http://dgparani.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar